RSS
Gallery

Sebuah Cerita Tentang Kopi

19 May

Sumber: Fathia’s Crib

Saya suka minum kopi.

Kesannya memang biasa saja mengingat Indonesia adalah salah satu penghasil kopi terbesar di dunia. Hampir di seluruh nusantara terdapat perkebunan kopi dengan ciri khas masing-masing. Kopi dapat dikatakan mirip dengan wine. Tanah yang berbeda akan menghasilkan kopi dengan cita rasa yang berbeda-beda. Ditambah lagi,  masing-masing daerah memiliki cara tersendiri dalam menyajikan kopi kebanggan mereka.

Di Aceh, masyarakatnya biasa mengkonsumsi kopi Ulee Kareng yang sangat terkenal itu. Biji kopi Aceh robusta racikan para barista lokal bisa disulap menjadi suguhan kopi yang sangat khas, kuat dan harum aromanya. Meskipun belakangan ini berdatangan coffee shop ala Italia, orang Aceh tidak akan mau meninggalkan kopinya itu. Kalau kita pergi ke Jogja, masyarakatnya punya style sendiri dalam menyajikan kopi. Arang yang membara dicelupkan ke dalam gelas berisi kopi yang telah diseduh. Josss, suara bara yang bertemu dengan cairan kopi mengilhami nama kopinya yaitu Kopi Joss. Di sana kita dapat menemui kopi Joss di warung-warung pinggir jalan, berbarengan dengan Angkringan yang tersebar di seluruh penjuru kota Jogja.

Dahulu saya tidak terlalu menyukai kopi. Sampai pada suatu ketika saya mencoba kopi hasil panggangan anak Indonesia asli yang rasanya bisa menandingi para roaster bule. Kurang ajar roaster itu memang. Aroma kopi hasil panggangannya yang harum begitu menggoda saya untuk menyeruputnya. Sejak itu saya suka minum kopi. Perlahan-lahan saya mulai mengenali perbedaan cita rasa kopi dari masing-masing daerah di Indonesia. Pekat dan asamnya kopi Toraja bisa membuat saya betah berjam-jam menulis artikel (karena bikin susah tidur). Orang luar negeri mungkin hanya tahu kopi Sumatra, padahal di Sumatra sendiri terdapat bermacam-macam jenis kopi. Ada kopi Aceh Gayo, Mandailing, Linthong, Lampung, dan masih banyak lagi. Dari Sulawesi kita punya kopi Toraja Kalossi. Papua sendiri tidak mau kalah dengan menawarkan kopi asal Wamena dan Nabire yang langka itu. Tanah Papua yang masih murni memberikan cita rasa yang sangat kaya pada pada biji kopinya. Jangan lupa pula kita memiliki kopi yang mungkin hanya ada di Indonesia, yaitu kopi Luwak. Kopi ini dinamakan demikian bukan karena jenisnya akan tetapi cara dihasilkannya. Kopi hasil pembuangan Luwak (sejenis musang) memberikan aroma yang sangat khas. Karena langkanya, kopi ini bisa dihargai hingga jutaan rupiah per kilonya.

Mau tidak mau memang banyaknya perkebunan kopi di Indonesia tidak lepas dari sistem tanam paksa (cultuur stelsel) pada zaman penjajahan Belanda dahulu. Para meneer tersebut membawa bibit kopi yang ditanam di seluruh pelosok nusantara. Yang menyedihkan, kopi-kopi yang ditanam tersebut tidak dapat dinikmati oleh petani pribumi saat itu. Mereka hanya bisa membakar daun kopi sampai berwarna hitam dan kemudian diseduh menjadi ’kopi’. Ironis. Namun karena hal tersebut jugalah kopi luwak ditemukan. Para petani tersebut memunguti kopi yang tercampur dengan feses luwak yang tidak diperhatikan oleh juragan-juragan perkebunan. Ternyata rasanya malahan lebih enak J  Pada zaman kemerdekaan, perkebunan-perkebunan tersebut akhirnya diambil alih oleh pemerintah Indonesia berubah nama menjadi PTPN seperti yang kita kenal sekarang ini.

Kopi sendiri mulai terangkat namanya ke kalangan menengah ke atas ketika seorang Belanda, Alfred Peet memperkenalkan kopi dark roasted ke Amerika. Alfred Peet sendiri tumbuh bersama dengan kopi-kopi terbaik dari Indonesia, Afrika Timur, dan Karibia oleh-oleh dari ayahnya yang gemar menyeberangi lautan ke perkebunan-perkebunan di Jawa dan Sumatra. Alfred Peet yang datang ke Amerika tidak habis pikir mengapa orang Amerika hanya mengenal kopi robusta kualitas rendah yang dijual dalam kaleng di supermarket.  Akhirnya Peet mendirikan Peet’s Coffee and Tea di Berkeley yang nantinya menjadi cikal bakal Starbucks Coffee, jaringan Coffee Shop nomor satu di dunia. Jangan salah mengerti, Starbucks yang kita kenal saat ini tidak sama dengan Peet’s Coffee and Tea namun orang-orang di belakang Starbucks adalah orang-orang yang membesarkan Peet’s Coffee and Tea dan sampai saat ini Starbucks mendapatkan pasokan biji kopi berdasarkan racikan Peet’s.

Howard Schultz yang datang belakangan benar-benar mengubah wajah Starbucks. Starbucks yang semula hanyalah pengecer kopi, ber-evolusi dan mungkin dapat dibilang be-revolusi  menjadi jaringan coffee shop yang jumlahnya mencapai puluhan ribu di seluruh dunia. Walaupun mendapatkan tentangan dari para pendiri Starbucks, Schultz yang keras kepala mampu meyakinkan mereka untuk mengubah arah bisnis Starbucks. Para pendiri tersebut memang tidak turut serta secara langsung ke dalam bisnis baru ini, namun roh dark roasted coffee masih diikuti oleh the new Starbucks yang mempunyai nama resmi Starbucks Corporation.

Berikut adalah petikan dari  buku ”Pour Your Heart Into It” hasil tulisan Howard Schultz sendiri. Semoga bisa memberikan insipirasi bagi kita dalam membangun bisnis. Petikan ini menceritakan saat Starbucks untuk pertama kalinya membuka bisnis coffee shop. Sebelumnya Starbucks hanya menjual kopi bubuk/biji untuk dibawa pulang.

“Pada pagi hari di bulan April 1984, udara sangat dingin, tidak sesuai dengan musimnya, hujan rintik-rintik namun tidak deras. Rencananya kami membuka store pada pukul 7 pagi, dua jam lebih awal dari biasanya. Saya tiba sekitar pukul 06.30 dan memandang ke luar dengan cemas ke arah jalanan. Hanya karyawan-karyawan kantor yang sangat rajin melangkah mendaki tanjakan tajam dari jalanan-jalanan Seattle pada jam ini.

Saya mulai melangkah berkeliling di dalam store, dan berusaha tetap sibuk, membantu persiapan dan pengaturan akhir. Di sebelah kiri berdiri konter-konter biji-biji kopi yang biasa, berisi tempat-tempat kopi. Di belakangnya, seorang ahli kopi mengenakan celemek Starbucks warna coklat, memeriksa sekop timahnya, timbangannya, dan mesin penggilingnya. Ia memeriksa apakah label-label pada laci tempat biji-biji kopi benar-benar sesuai dengan isinya dan menempatkan sederet stempel karet yang akan digunakan untuk menandai setiap kantung kopi yang dijual dengan bermacam-macam nama. Ia meluruskan mug, alat pembuat kopi, kaleng-kaleng teh pada raknya di sepanjang dinding, produk-produk yang sudah dikenal dengan baik oleh para pecinta Starbucks.

Di sudut sebelah kanan store, eksperimen saya akan segera mulai. Seperti para barista di Milan, dua orang karyawan yang antusias sedang bekerja pada sebuah mesin krom bercahaya yang mengucurkan espresso dan mempraktekkan keterampilan yang baru diperoleh mengenai steaming milk menjadi foam untuk capuccino.

Pukul 7 tepat, kami membuka pintu. Satu demi satu orang-orang yang ingin tahu melangkah masuk dalam perjalanan mereka ke kantor. Banyak dari mereka memesan secangkir kopi biasa. Beberapa lainnya menanyakan espresso, minuman yang masih asing yang terdapat pada daftar menu Italia. Para barista sangat antusias dengan minuman baru itu dan dengan senang menjelaskan apa isi masing-masing. Mereka memuji-muji minuman yang telah saya temukan di Verona, minuman yang banyak orang belum pernah mendengarnya: caffe latte, espresso dengan steamed milk. Sejauh yang saya tahu, caffe latte diperkenalkan di Amerika pagi hari itu.

Saya perhatikan beberapa orang menghirup untuk pertama kalinya. Kebanyakan membelalakkan matanya, pertama-tama merespons terhadap letupan rasa hebat yang tidak biasa. Mereka ragu-ragu, kemudian menghirup lagi, menikmati kehangatan yang manis dari susu. Saya melihat senyuman sewaktu minuman yang luar biasa itu mengisi mulut mereka.

Langkah-langkah dipercepat selama jam sibuk di pagi hari itu, dan kemudian berangsur-angsur berkurang. Rasanya janggal melayani orang di sudut sempit di bagian belakang store. Para pelanggan berdesak-desakan di ruang sempit sebelah kanan sementara konter eceran tetap kosong. Seandainya store itu sebuah kapal ia pasti telah tenggelam.

Sejak kami buka, sangat jelas bagi saya: Starbucks telah memasuki bisnis yang berbeda. Tidak akan berbalik lagi.

Pada waktu tutup, sekitar 400 pelanggan telah melewati pintu, jauh lebih banyak dari jumlah rata-rata pelanggan di store Starbucks terbaik, yaitu 250 orang. Lebih penting lagi, saya dapat merasakan reaksi pertama dari kehangatan interaksi sosial yang sama dan keterampilan seni yang menawan hati yang telah memikat saya di Italia. Saya pulang hari itu seyakin sebelumnya.

Sementara minggu-minggu berlalu, bisnis berkembang, hampir semuanya pada bagian minuman. Dalam waktu dua bulan, store melayani 8.000 pelanggan setiap hari. Para barista tidak bisa lebih cepat membuat espresso, dan antrian mulai melingkar keluar pintu trotoar. Apabila saya mampir untuk memeriksa perkembangan eksperimen saya, para pelanggan mendatangi saya, ingin menyampaikan antusiasme mereka. Responsnya luar biasa besar.

Fourth and Spring menjadi tempat berkumpul, dan suasananya menggemparkan. Saya bergairah karenanya. Demikian juga dengan sejumlah orang Starbucks yang mendukung itu, orang-orang seperti Gay Niven, seorang pembeli barang-barang di Starbucks sejak 1979, dan Deborah Tipp Hauck, yang telah saya pekerjakan pada 1982 untuk mengurus store.

Inilah hasil uji coba yang saya cari. Dengan keberhasilan bar espresso yang pertama, saya mulai memikirkan banyak kemungkinan lebih jauh. Kami dapat membuka banyak coffee store di seputar kota, semua dipersembahkan untuk menyajikan minuman-minuman espresso. Ini bukan saja akan menjadi katalisator tetapi juga sebuah wahana untuk memperkenalkan dasar baru yang lebih luas bagi para pelanggan kopi Starbucks.”

Dan sebuah bisnis yang besar pun tercipta. Starbucks telah berhasil melahirkan kembali kopi dari hanya sekedar komoditas menjadi produk yang mempunyai ciri khas tersendiri.

 
Leave a comment

Posted by on May 19, 2012 in cerita kopi

 

Tags: , ,

Leave a comment